Kamis, 11 November 2010

Motivasi, Sukses dan Proses Diantaranya


Teman-teman mungkin pernah mengikuti seminar motivasi dari berbagai pembicara terkenal Indonesia. Biasanya setelah mendengarkan mereka kita akan sedikit tercerahkan, menjadi lebih semangat dan memandang dunia dengan wajah yang berbeda. Bergumpal-gumpal motivasi diri yang muncul. Seketika ada suatu tekad, “AKU HARUS MENJADI SESEORANG YANG LEBIH BAIK, BESOK!”.

Tapi ada sesuatu yang tidak saya pahami. Yang saya alami setelah beberapa minggu, bahkan beberapa hari setelahnya, motivasi yang saya harapkan bisa awet itu seperti luntur sedikit demi sedikit, hingga akhirnya lama kelamaan saya kembali seperti saya sebelumnya. Walah…Apa yang terjadi? Apa hati saya yang terlalu keras? Atau apakah motivasi eksternal itu sesuatu yang semu, sementara dan tidak nyata? Tapi mengapa bisa adiktif?

Motivasi itu sangat penting, bahkan itulah yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Nah, kalo ada motivasi eksternal, seberapa persen pengaruhnya untuk diri kita? Saya tidak apriori terhadap motivator, bahkan saya juga suka mendengarkan petuah mereka, akan tetapi untuk mengkonversi motivasi/pencerahan menjadi sebuah aksi yang disiplin dan kontinyu, saya pikir kita butuh lebih dari itu.

Ada satu cerita tentang tentangga saya yang bisa dikatakan “sangat terobsesi” dengan kebersihan dan kerapihan. Anda akan melihat motor yang selalu bersih, juga rumah, halaman dan segala macamnya. Tidak jarang setelah pulang kerja jam 11 malam pun dia tetap menyempatkan membersihkan dan membereskan banyak hal. Semuanya bukan karena terpaksa, dan mungkin benar-benar sudah menjadi jiwanya. Mrantasi kalo orang Jawa bilang. Tidak heran ketika terjadi banyak PHK, dia tetap dipertahankan oleh pabrik tempatnya bekerja. Sebuah kalimat yang tepat, “orang yang jiwanya senang bekerja”.

Sebuah cerita lain adalah pemilik Restoran Seafood sukses HDL yang sangat menikmati proses memasak. Memasak sepertiya sudah menjadi “ideologi”nya. Hal ini kelihatan saat dia mempraktekkan memasak dan mengaduk minyak panas menggunakan tangannya. Saya lihat, memasak buat dia adalah seperti sebuah permainan yang menyenangkan dan sudah menjadi jiwanya. Sebuah kalimat yang tepat, “orang yang jiwanya senang memasak”.

Kedua cerita di atas adalah gambaran sebuah motivasi internal yang menggerakkan aksi yang rutin, yang lama kelamaan akan menjadi kebiasaan dan muncul menjadi intangibles (kata Rheinald Kasali sih) Dia menyebut MYELIN nya terbentuk sempurna. Tidak secara kasat mata bisa dilihat, akan tetapi dapat dirasakan. Intangibles membuat nilai seseorang/perusahaan itu menjadi Great, tidak sekedar Good. Great hanya bisa dicapai jika motivasi itu dilanjutkan menjadi aksi yang disiplin dan kontinyu. Bukan sehari dua hari, seminggu, sebulan, setahun tapi bertahun-tahun. Ibaratnya intangibles hanya bisa dicapai dengan berlari marathon dan bukan sprint.

Terkait dengan ilustrasi cerita di atas, intangibles yang menuntut sebuah proses lama hanya bisa dicapai kalo kita merasa senang melakukannya. Tetangga saya memang senang bekerja, Bapak pemilik Resto HDL memang senang memasak. Keduanya sukses membentuk MYELIN mereka sesuai dengan kapasitasnya.

Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana jadinya seorang tukang lotek ingin sukses tapi tidak suka ngulek? Ato penjaga toko ingin sukses tapi tidak suka melayani pembeli? Ato tukang update konten website tidak suka menulis dan update konten webnya? :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar