Selasa, 09 November 2010

Harley Davidson dan Proteksi Industri dalam Negeri

Di hari-hari puasa terakhir kemaren sempat denger kotbah pagi yang narasumber nya Aam Amiruddin berkaitan dengan tema Zakat. Ada satu pertanyaan dari Pak Aam buat pengelola Dompet Dhuafa (DD). Sebenarnya apakah benar zakat yang tiap tahun kecenderungannya meningkat benar-benar bisa mementaskan kemiskinan dan keterbelakangan? Karena sepertinya kemiskinan dari hari ke hari bukannya berkurang justru semakin bertambah.

Pengelola DD menjawab bahwa pada intinya mereka mengharapkan seseorang yang dulunya mustahiq (penerima zakat) diharapkan menjadi muzakki (pemberi zakat). DD pun telah mencoba menyalurkan zakat untuk suatu kegiatan yang produktif semisal usaha sablon ataupun garmen. Akan tetapi serbuan tekstil china sungguh merupakan pukulan telak, sehingga orang orang yang mau bangkit harus jatuh lagi sebelum sempat tegak. Pada akhirnya, memang harus ada campur tangan penguasa/pemerintah dalam lingkup ekonomi yang lebih luas.

Terkait dengan hal ini, ada satu cerita dari negara yang notabene mbahnya kapitalis, yaitu Amerika Serikat. Harley Davidson setelah perang dunia telah menjadi sebuah industri, tidak hanya sekedar sebuah entitas bisnis.

Bersama dengan banyak pemimpin industri lainnya dalam industri amerika, Harley Davidson memperoleh kemakmuran sesudah perang, sebagian karena hancurnya kemampuan pemabrikan Jepang dan Eropa. Dan setelah Indian Motorcycle manufacturing Company tutup, Harley menjadi satu-satunya pembuat sepeda motor AS yang masih tersisa. Harley Davidson Motor Company telah menjadi sebuah lembaga amerika dan terus berkembang menjadi pujaan kultural.

Akan tetapi, di tahun 60 an, kebangkitan perusahaan pemabrikan Jepang telah menggerus pasar sepeda motor secara signifikan. Honda adalah salah satu perusahaan yang sukses di era ini. Dengan kampanye iklan yang agresif menampilkan “pengendara sepeda motor yang baik”, Honda adalah antitesa dari pengendara Harley yang dicitrakan sebagai “kasar, pemberontak”.

Ketika Harley diambil alih oleh American Machine & Foundry, suntikan dana yang besar ternyata lama kelamaan justru semakin melenakan mereka. Mereka lalai dan tidak bisa menaikkan kualitas sepeda motor mereka. Lama kelamaan pasar mereka tergerus oleh pemabrikan Jepang.

Sempat tercipta kesadaran ketika eksekutif puncak mereka dan pemimpin serikat buruh yang mewakili karyawan Harley berkeliling pabrik sepeda motor Honda di Marysville, Ohio pada tahun 1982, untuk kemudian mau menerapkan permainan Jepang yang salah dua nya adalah jalur perakitan yang rapi dan sistem manajemen yang efisien.

Akan tetapi walaupun pada akhirnya efisiensi bisa diwujudkan, akan tetapi secara mengecewakan Harley tetap tidak bisa memenuhi target penjualan. Hal ini mungkin terjadi karena semakin kompetitifnya produk motor Jepang.

Persaingan dengan pabrikan Jepang inilah yang kemudian membuat Harley menempuh tindakan politik, sehingga pada bulan September 1982 meminta kepada Komisi Dagang International (International Trade Commision) agar memberlakukan pajak impor yang tinggi terhadap motor produksi Jepang. Politikus-politikus yang mewakili distrik-distrik dengan operasi Harley-Davidson ikut dalam perjuangan di belakang perusahaan. Salah Satu senator yang gigih bersaksi, Apa yang terjadi di sini benar-benar pembangunan besar-besaran inventaris Jepang yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan pasar AS."

Hingga akhirnya Ronald Reagan, pada tanggal 1 April 1983 menyetujui rekomendasi ITC. Pajak impor yang berlaku 4,4% atas sepeda motor Jepang dengan kapasitas 700 cc atau lebih seketika ditingkatkan menjadi 49,4% pada tahun 1983. Kenaikan yang diberlakukan terhadap pajak ini dikembalikan perlahan-lahan ke tingkat semula:turun menjadi 39,4% pada tahun 1984, 24,4% pada tahun 1985, 19,4% pada tahun 1986, 14,4% pada tahun 1987, hingga akhirnya kembali ke tingkat semual 4,4% pada tahun 1988.

Dan Harley Davidson sampai saat ini bisa tetap menjadi industri kebanggaan Amerika Serikat.

Lalu semua orang akan bertanya mengapa penguasa Indonesia tidak bisa berlaku seperti Amerika Serikat yang mereka puja? Mengapa penguasa Indonesia tidak membela rakyatnya dalam bentuk proteksi? Bahkan ketika salah satu industri strategis Indonesia membutuhkan modal (yang untuk negara sebenarnya jumlah yang tidak seberapa), mereka harus menjual saham dengan harga yang begitu rendah?

NB :

Saya masih bermimpi banyak start up company maupun industri kecil di Indonesia pada suatu saat nanti menjadi besar dan menjadi kebanggaan Indonesia seperti halnya Harley Davidson disana.

1 komentar: