Senin, 22 November 2010

Value dan Konsekuensi Sikap Mental

Pas iseng brosing Google Finance kemaren, ada sesuatu yang menarik perhatian saya, tentang listing pendapatan dari orang-orang hebat dunia. Ini saya kasih capture nya dari Google dan Apple (dari situs reuter finance). Saya ambil dua perusahaan itu karena nilai sahamnya cukup tinggi dibandingkan misalnya dengan Microsoft Corp. atau Yahoo Inc. Nilai Google Inc. di bursa saham saat ini adalah 590,83 dan Apple Inc. adalah 306,73.

Kita lihat yang pertama pendapatan eksekutif dari Apple Inc.

Ternyata seorang CEO Steve Jobs yang sangat terkenal itu pendapatan tahunannya tidak sebanyak seorang Peter Oppenheimer yang menjabat sebagai Chief Financial officer, atau Ronald Johnson yang menjabat sebagai Senior Vice President - retail of Apple Inc.

Seberapa pentingnya peranan orang-orang tersebut sehingga nilainya bisa lebih tinggi daripada CEO nya?
(walopun sekedar berupa bonus tahunan tentunya).

Kita coba lihat dari Google Inc.


Ternyata Larry Page dan Sergey Brin bukanlah orang yang paling banyak pendapatan tahunannya di Google, bukan juga Eric Scmidt. Ada seorang Nikesh Arora yang sejak April bergabung dengan Google Inc dan sekarang menjabat sebagai President - Global Sales Operations and Business Development of Google Inc yang pendapatan tahunannya lebih tinggi dari bosnya.

Sekali lagi, kualitas apa yang membuatnya bernilai tinggi secara finansial?

Dan pertanyaan yang lebih esensial lagi, mengapa pendapatan mereka bisa jauh lebih tinggi daripada saya? :D Apa sebenarnya yang membedakan saya dengan mereka? Kualitas seperti apa yang bisa membuat perbedaan (yang cukup jauh) antara saya dengan mereka? Dalam lingkup yang lebih kecil, anda mungkin kemudian mikir juga mengapa gaji Anda bisa lebih kecil daripada gaji teman Anda? Padahal Anda merasa tidak kalah pintar? Mengapa gaji teman Anda yang berbeda kantor bisa lebih besar daripada Anda, padahal secara pangkat sama saja? Lalu apa yang membedakan perusahaan Anda dengan perusahaan teman Anda?

Mungkin jawabannya adalah Value? Seseorang mendapat penghargaan berdasarkan value yang diberikannya kepada orang lain. Semakin besar value tersebut bisa disebarkan dan diterima oleh sebanyak mungkin orang, maka reward pun akan beriring mengikutinya.

Value inilah yang akan mengiringi karir kita. Apa arti karir bagi Anda? Jenjang kepangkatan? Jenjang pendapatan? Atau yang lain?

Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang seorang seorang Office Boy yang menapaki karir hingga menjadi seorang CEO yang hebat? Value apa yang ditawarkan OB tersebut di sepanjang karirnya? Ato kisah seorang calo tiket pesawat yang kemudian menjadi seorang pemilik maskapai penerbangan? Value seperti apa yang ditawarkannya? Untuk kisah inspiratif ini bolehlah Anda baca ceritanya di buku MYELIN nya Rheinald Kasali.

Bagaimana konsep karir menurut Anda yang bisa menjelaskan kisah-kisah tersebut?

Seorang OB yang mempunyai sikap mental hebat akan dengan bangga dan bersemangat menjalani tugasnya sehari-hari. Dia tidak memandang bahwa pekerjaannya hanya “sekedar pelayan”, akan tetapi dia melihat lebih jauh dari itu. Bahwa konsep melayani dengan sepenuh hati dan mengerjakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh akan membuat pekerjaannya lebih bernilai. Membersihkan kantor dengan sigap, cepat dan bersih, ataupun mengantarkan makanan/minuman kepada orang-orang kantor dengan gembira ,sigap dan memuaskan pada akhirnya akan menjadi investasi personal seorang OB yang menjadi tinggi nilainya di kemudian hari.

Ada satu petuah dari guru saya bahwa “jangan memandang karir sekedar sebuah jenjang kepangkatan, jenjang pekerjaan ataupun jenjang pendapatan”. Dia mengatakan bahwa karir adalah sebuah sikap mental. Karir yang hebat hanya bisa didapatkan kalo kita punya sikap mental yang hebat dan mampu konsisten melakukan pekerjaan apapun dengan bekal sikap mental tersebut.

Mungkin Value kita hari ini belum dihargai sebesar Steve Jobs. Tentu banyak sebabnya. Akan tetapi satu hal adalah bahwa Nilai kita hari ini atau suatu saat nanti akan ditentukan dari sikap mental hari ini.

Jadi, sikap mental seperti apa yang Anda kantungi mulai hari ini?

NB: Pendapatan seperti Steve Jobs dan tanpa hutang bisa ga sih?:D

Kamis, 11 November 2010

Motivasi, Sukses dan Proses Diantaranya


Teman-teman mungkin pernah mengikuti seminar motivasi dari berbagai pembicara terkenal Indonesia. Biasanya setelah mendengarkan mereka kita akan sedikit tercerahkan, menjadi lebih semangat dan memandang dunia dengan wajah yang berbeda. Bergumpal-gumpal motivasi diri yang muncul. Seketika ada suatu tekad, “AKU HARUS MENJADI SESEORANG YANG LEBIH BAIK, BESOK!”.

Tapi ada sesuatu yang tidak saya pahami. Yang saya alami setelah beberapa minggu, bahkan beberapa hari setelahnya, motivasi yang saya harapkan bisa awet itu seperti luntur sedikit demi sedikit, hingga akhirnya lama kelamaan saya kembali seperti saya sebelumnya. Walah…Apa yang terjadi? Apa hati saya yang terlalu keras? Atau apakah motivasi eksternal itu sesuatu yang semu, sementara dan tidak nyata? Tapi mengapa bisa adiktif?

Motivasi itu sangat penting, bahkan itulah yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Nah, kalo ada motivasi eksternal, seberapa persen pengaruhnya untuk diri kita? Saya tidak apriori terhadap motivator, bahkan saya juga suka mendengarkan petuah mereka, akan tetapi untuk mengkonversi motivasi/pencerahan menjadi sebuah aksi yang disiplin dan kontinyu, saya pikir kita butuh lebih dari itu.

Ada satu cerita tentang tentangga saya yang bisa dikatakan “sangat terobsesi” dengan kebersihan dan kerapihan. Anda akan melihat motor yang selalu bersih, juga rumah, halaman dan segala macamnya. Tidak jarang setelah pulang kerja jam 11 malam pun dia tetap menyempatkan membersihkan dan membereskan banyak hal. Semuanya bukan karena terpaksa, dan mungkin benar-benar sudah menjadi jiwanya. Mrantasi kalo orang Jawa bilang. Tidak heran ketika terjadi banyak PHK, dia tetap dipertahankan oleh pabrik tempatnya bekerja. Sebuah kalimat yang tepat, “orang yang jiwanya senang bekerja”.

Sebuah cerita lain adalah pemilik Restoran Seafood sukses HDL yang sangat menikmati proses memasak. Memasak sepertiya sudah menjadi “ideologi”nya. Hal ini kelihatan saat dia mempraktekkan memasak dan mengaduk minyak panas menggunakan tangannya. Saya lihat, memasak buat dia adalah seperti sebuah permainan yang menyenangkan dan sudah menjadi jiwanya. Sebuah kalimat yang tepat, “orang yang jiwanya senang memasak”.

Kedua cerita di atas adalah gambaran sebuah motivasi internal yang menggerakkan aksi yang rutin, yang lama kelamaan akan menjadi kebiasaan dan muncul menjadi intangibles (kata Rheinald Kasali sih) Dia menyebut MYELIN nya terbentuk sempurna. Tidak secara kasat mata bisa dilihat, akan tetapi dapat dirasakan. Intangibles membuat nilai seseorang/perusahaan itu menjadi Great, tidak sekedar Good. Great hanya bisa dicapai jika motivasi itu dilanjutkan menjadi aksi yang disiplin dan kontinyu. Bukan sehari dua hari, seminggu, sebulan, setahun tapi bertahun-tahun. Ibaratnya intangibles hanya bisa dicapai dengan berlari marathon dan bukan sprint.

Terkait dengan ilustrasi cerita di atas, intangibles yang menuntut sebuah proses lama hanya bisa dicapai kalo kita merasa senang melakukannya. Tetangga saya memang senang bekerja, Bapak pemilik Resto HDL memang senang memasak. Keduanya sukses membentuk MYELIN mereka sesuai dengan kapasitasnya.

Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana jadinya seorang tukang lotek ingin sukses tapi tidak suka ngulek? Ato penjaga toko ingin sukses tapi tidak suka melayani pembeli? Ato tukang update konten website tidak suka menulis dan update konten webnya? :D

Selasa, 09 November 2010

Harley Davidson dan Proteksi Industri dalam Negeri

Di hari-hari puasa terakhir kemaren sempat denger kotbah pagi yang narasumber nya Aam Amiruddin berkaitan dengan tema Zakat. Ada satu pertanyaan dari Pak Aam buat pengelola Dompet Dhuafa (DD). Sebenarnya apakah benar zakat yang tiap tahun kecenderungannya meningkat benar-benar bisa mementaskan kemiskinan dan keterbelakangan? Karena sepertinya kemiskinan dari hari ke hari bukannya berkurang justru semakin bertambah.

Pengelola DD menjawab bahwa pada intinya mereka mengharapkan seseorang yang dulunya mustahiq (penerima zakat) diharapkan menjadi muzakki (pemberi zakat). DD pun telah mencoba menyalurkan zakat untuk suatu kegiatan yang produktif semisal usaha sablon ataupun garmen. Akan tetapi serbuan tekstil china sungguh merupakan pukulan telak, sehingga orang orang yang mau bangkit harus jatuh lagi sebelum sempat tegak. Pada akhirnya, memang harus ada campur tangan penguasa/pemerintah dalam lingkup ekonomi yang lebih luas.

Terkait dengan hal ini, ada satu cerita dari negara yang notabene mbahnya kapitalis, yaitu Amerika Serikat. Harley Davidson setelah perang dunia telah menjadi sebuah industri, tidak hanya sekedar sebuah entitas bisnis.

Bersama dengan banyak pemimpin industri lainnya dalam industri amerika, Harley Davidson memperoleh kemakmuran sesudah perang, sebagian karena hancurnya kemampuan pemabrikan Jepang dan Eropa. Dan setelah Indian Motorcycle manufacturing Company tutup, Harley menjadi satu-satunya pembuat sepeda motor AS yang masih tersisa. Harley Davidson Motor Company telah menjadi sebuah lembaga amerika dan terus berkembang menjadi pujaan kultural.

Akan tetapi, di tahun 60 an, kebangkitan perusahaan pemabrikan Jepang telah menggerus pasar sepeda motor secara signifikan. Honda adalah salah satu perusahaan yang sukses di era ini. Dengan kampanye iklan yang agresif menampilkan “pengendara sepeda motor yang baik”, Honda adalah antitesa dari pengendara Harley yang dicitrakan sebagai “kasar, pemberontak”.

Ketika Harley diambil alih oleh American Machine & Foundry, suntikan dana yang besar ternyata lama kelamaan justru semakin melenakan mereka. Mereka lalai dan tidak bisa menaikkan kualitas sepeda motor mereka. Lama kelamaan pasar mereka tergerus oleh pemabrikan Jepang.

Sempat tercipta kesadaran ketika eksekutif puncak mereka dan pemimpin serikat buruh yang mewakili karyawan Harley berkeliling pabrik sepeda motor Honda di Marysville, Ohio pada tahun 1982, untuk kemudian mau menerapkan permainan Jepang yang salah dua nya adalah jalur perakitan yang rapi dan sistem manajemen yang efisien.

Akan tetapi walaupun pada akhirnya efisiensi bisa diwujudkan, akan tetapi secara mengecewakan Harley tetap tidak bisa memenuhi target penjualan. Hal ini mungkin terjadi karena semakin kompetitifnya produk motor Jepang.

Persaingan dengan pabrikan Jepang inilah yang kemudian membuat Harley menempuh tindakan politik, sehingga pada bulan September 1982 meminta kepada Komisi Dagang International (International Trade Commision) agar memberlakukan pajak impor yang tinggi terhadap motor produksi Jepang. Politikus-politikus yang mewakili distrik-distrik dengan operasi Harley-Davidson ikut dalam perjuangan di belakang perusahaan. Salah Satu senator yang gigih bersaksi, Apa yang terjadi di sini benar-benar pembangunan besar-besaran inventaris Jepang yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan pasar AS."

Hingga akhirnya Ronald Reagan, pada tanggal 1 April 1983 menyetujui rekomendasi ITC. Pajak impor yang berlaku 4,4% atas sepeda motor Jepang dengan kapasitas 700 cc atau lebih seketika ditingkatkan menjadi 49,4% pada tahun 1983. Kenaikan yang diberlakukan terhadap pajak ini dikembalikan perlahan-lahan ke tingkat semula:turun menjadi 39,4% pada tahun 1984, 24,4% pada tahun 1985, 19,4% pada tahun 1986, 14,4% pada tahun 1987, hingga akhirnya kembali ke tingkat semual 4,4% pada tahun 1988.

Dan Harley Davidson sampai saat ini bisa tetap menjadi industri kebanggaan Amerika Serikat.

Lalu semua orang akan bertanya mengapa penguasa Indonesia tidak bisa berlaku seperti Amerika Serikat yang mereka puja? Mengapa penguasa Indonesia tidak membela rakyatnya dalam bentuk proteksi? Bahkan ketika salah satu industri strategis Indonesia membutuhkan modal (yang untuk negara sebenarnya jumlah yang tidak seberapa), mereka harus menjual saham dengan harga yang begitu rendah?

NB :

Saya masih bermimpi banyak start up company maupun industri kecil di Indonesia pada suatu saat nanti menjadi besar dan menjadi kebanggaan Indonesia seperti halnya Harley Davidson disana.

Jumat, 05 November 2010

Pindah rumah

Kemaren iseng pengin tahu kabar blog pertama saya di halaman google. Saya coba ketik warung kopi.

Wah, di PAGE ONE! Kalo secara online advertising, blog saya ini bisa dikatakan memenuhi parameter sukses yang pertama (SEO). Tentu saja ada parameter kedua, ketiga, dst.

Bagaimana tidak? tanpa analisis macem macem, dengan keyword "warungkopi", blog warungkopiku tersebut memperlihatkan buktinya.

Walaupun tentu saja kesuksesan page one yang sekarang tidak akan menjamin bertahan selamanya. Google punya mekanisme sendiri untuk hal ini. Jadi penasaran gimana obrolan warungkopi tentang Search Engine Optimization dan internet marketing ya...

Tapi sayangnya, saya kehilangan account gmail untuk masuk ke blog itu. Saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa begitu. Sudah saya tanyakan ke mbah google nya, tapi tidak ada respon jawaban berarti, hanya mesin mesin otomatis yang menjawab tanpa solusi.

Ya sudahlah, saya pindah kesini saja. Gitu aja kok repot, :D. Moga sekarang jadi rajin posting lagi...

Selamat bertemu lagi sodaraku, ditunggu kiriman klethikan nya, biar acara ngopi kita jadi tambah mantap!